Minggu, 14 November 2010

Mereka Bukan "Robot"

Namanya William James Sidis. Saat  usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Sidis sudah menulis beberapa buku sebelum berusia beranjak 8 tahun, Diantara bukunya  tentang anatomy dan astronomy. Diusia 11 tahun, ia diterima di Universitas Harvard sebagai murid termuda. Universitas Harvard terpesona dengan kejeniusannya saat ia memberikan ceramah tentang “Jasad Empat Dimensi” di depan para professor matematika. Hebatnya, Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjamahkannya dengan amat cepat dan mudah.
Keberhasilan William Sidis tak lain berkat keberhasilan sang Ayah, Boris Sidis yang juga seorang Psikolog handal berdarah Yahudi. Tapi, mendadak ia menghilang dan ditemukan lagi oleh wartawan dalam kondisi menggenaskan. Sidis meninggal diusia muda, 46 tahun. Sebelum meninggal, ia mengakui kehidupannya tidaklah bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika justru membuatnya tersiksa.
Dalam kehidupan sosial, Sidis juga mengaku hanya sedikit memiliki teman. Ia  juga sering diasingkan oleh rekan sekampus, tak  pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Bahkan Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia pergi dari rumah dan justru lebih memilih menjadi pemulung. Kejayaan masa kecilnya hanya diakui sebagai proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain.


Tak sedikit orangtua menginginkan anak-anak mereka sebagaimana keinginan dia, sampai ia tak dimanusiakan lagi. Anak-anak mereka laksana robot dan mesin.
Pagi sekolah, sore sudah menunggu antri pelajaran les. Ada les Inggris, piano, lukis, sempoa dll. Bahkan hari libur pun, anak-anak mereka sudah menerima jadwal dari para orangtua mereka. Kehidupan anak-anak yang indah sudah hilang. Ia telah menjadi “robot” orangtuanya sendiri. Memang banyak kita saksikan anak-anak intelek dan cerdas hari ini. Tapi jarang kita temukan anak-anak yang “kecerdasan hati” dan “kelembutan budi”. Inilah yang kita saksikan hari ini.


Orang tua sekarang cenderung menjadikan anak-anak mereka berprestasi dalam bidang akademik, namun melalaikan untuk membangun kejiwaan mereka, melimpahkan kasih sayang dan perhatian kepada mereka. 
Pendidikan anak mereka hanya diserahkan kepada sekolah dan lembaga pendidikan non formal, anak telah kehilangan masa indahnya untuk bermain, dan mendapatkan pendidikan serta kasih sayang langsung dari orangtuanya.


Banyak orang memburu dunia, seolah-olah itu kehidupan paling kekal. Pagi bekerja sampe malam. Pulang hanya makan dan tidur, esoknya harus kembali bekerja. Bahkan ia jarang bertemu anak dan istri sendiri untuk sekedar bersapa atau ngobrol berlama-lama. Baginya, hidup hanya uang, uang dan uang, serta kebanggaan dengan banyaknya prestasi dan jabatan.



 
Anda sedang membaca Artikel tentang Mereka Bukan "Robot" ndan anda bisa menemukan Artikel Mereka Bukan "Robot" ini dengan URL http://laylawaty.blogspot.com/2010/11/mereka-bukan-robot.html, Anda boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste nya jika Artikel Mereka Bukan "Robot" ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, Namun jangan lupa untuk meletakkan Link Mereka Bukan "Robot" sebagai Sumbernya.

2 komentar:

  • z33s says:
    15 November 2010 pukul 11.46

    sepertinya hal ini sudah menjadi budaya mbak. ga dikampung ga dikota. seolah-olah orang-orang lupa akan tugas utama mereka..

  • fb says:
    15 November 2010 pukul 17.30

    Wah susah juga ya jadi orang pinter kalo kayak gitu..

Posting Komentar