Minggu, 31 Januari 2010

Makkah adalah Pusat Bumi

Makkah—juga disebut Bakkah—tempat di mana umat Islam melaksanakan haji itu terbukti sebagai tempat yang pertama diciptakan. Telah menjadi kenyataan ilmiah bahwa bola bumi ini pada mulanya tenggelam di dalam air (samudera yang sangat luas).

Kemudian gunung api di dasar samudera ini meletus dengan keras dan mengirimkan lava dan magma dalam jumlah besar yang membentuk ‘bukit’. Dan bukit ini adalah tempat Allah memerintahkan untuk menjadikannya lantai dari Ka’bah (kiblat). Batu basal Makkah dibuktikan oleh suatu studi ilmiah sebagai batu paling purba di bumi.
Jika demikian, ini berarti bahwa Allah terus-menerus memperluas dataran dari tempat ini. Jadi, ini adalah tempat yang paling tua di dunia. Adakah hadits yang nabawi yang menunjukkan fakta yang mengejutkan ini? Jawaban adalah ya. Nabi bersabda, ‘Ka’bah itu adalah sesistim tanah di atas air, dari tempat itu bumi ini diperluas.’ Dan ini didukung oleh fakta tersebut.

Menjadi tempat yang pertama diciptakan itu menambah sisi spiritual tempat tersebut. Juga, yang mengatakan nabi yang tempat di dalam dahulu kala dari waktu menyelam di dalam air dan siapa yang mengatakan kepada dia bahwa Ka’bah adalah pemenang pertama yang untuk dibangun atas potongan dari ini tempat seperti yang didukung oleh studi dari basalt mengayun-ayun di Makkah?

Makkah Pusat Bumi
Prof. Hussain Kamel menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Makkah adalah pusat bumi. Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia.

Untuk tujuan ini, ia menarik garis-garis pada peta, dan sesudah itu ia mengamati dengan seksama posisi ketujuh benua terhadap Makkah dan jarak masing-masing. Ia memulai untuk menggambar garis-garis sejajar hanya untuk memudahkan proyeksi garis bujur dan garis lintang.

Setelah dua tahun dari pekerjaan yang sulit dan berat itu, ia terbantu oleh program-program komputer untuk menentukan jarak-jarak yang benar dan variasi-variasi yang berbeda, serta banyak hal lainnya. Ia kagum dengan apa yang ditemukan, bahwa Makkah merupakan pusat bumi.

Ia menyadari kemungkinan menggambar suatu lingkaran dengan Makkah sebagai titik pusatnya, dan garis luar lingkaran itu adalah benua-benuanya. Dan pada waktu yang sama, ia bergerak bersamaan dengan keliling luar benua-benua tersebut. (Majalah al-Arabiyyah, edisi 237, Agustus 1978).

Gambar-gambar Satelit, yang muncul kemudian pada tahun 90-an, menekankan hasil yang sama ketika studi-studi lebih lanjut mengarah kepada topografi lapisan-lapisan bumi dan geografi waktu daratan itu diciptakan.

Telah menjadi teori yang mapan secara ilmiah bahwa lempengan-lempengan bumi terbentuk selama usia geologi yang panjang, bergerak secara teratur di sekitar lempengan Arab. Lempengan-lempengan ini terus menerus memusat ke arah itu seolah-olah menunjuk ke Makkah.

Studi ilmiah ini dilaksanakan untuk tujuan yang berbeda, bukan dimaksud untuk membuktikan bahwa Makkah adalah pusat dari bumi. Bagaimanapun, studi ini diterbitkan di dalam banyak majalah sain di Barat.

Allah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut:

‘Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya..’ (asy-Syura: 7)

Kata ‘Ummul Qura’ berarti induk bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya menunjukkan Makkah adalah pusat bagi kota-kota lain, dan yang lain hanyalah berada di sekelilingnya. Lebih dari itu, kata ummu (ibu) mempunyai arti yang penting di dalam kultur Islam.

Sebagaimana seorang ibu adalah sumber dari keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber dari semua negeri lain, sebagaimana dijelaskan pada awal kajian ini. Selain itu, kata ‘ibu’ memberi Makkah keunggulan di atas semua kota lain.

Makkah atau Greenwich
Berdasarkan pertimbangan yang seksama bahwa Makkah berada tengah-tengah bumi sebagaimana yang dikuatkan oleh studi-studi dan gambar-gambar geologi yang dihasilkan satelit, maka benar-benar diyakini bahwa Kota Suci Makkah, bukan Greenwich, yang seharusnya dijadikan rujukan waktu dunia. Hal ini akan mengakhiri kontroversi lama yang dimulai empat dekade yang lalu.

Ada banyak argumentasi ilmiah untuk membuktikan bahwa Makkah merupakan wilayah nol bujur sangkar yang melalui kota suci tersebut, dan ia tidak melewati Greenwich di Inggris. GMT dipaksakan pada dunia ketika mayoritas negeri di dunia berada di bawah jajahan Inggris. Jika waktu Makkah yang diterapkan, maka mudah bagi setiap orang untuk mengetahui waktu shalat.

Makkah adalah Pusat dari lapisan-lapisan langit

Ada beberapa ayat dan hadits nabawi yang menyiratkan fakta ini. Allah berfirman,
‘Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.’ (ar-Rahman:33)

Kata aqthar adalah bentuk jamak dari kata ‘qutr’ yang berarti diameter, dan ia mengacu pada langit dan bumi yang mempunyai banyak diameter.

Dari ayat ini dan dari beberapa hadits dapat dipahami bahwa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di tengah-tengah bumi, maka itu berarti bahwa Makkah juga berada di tengah-tengah lapisan-lapisan langit.

Selain itu ada hadits yang mengatakan bahwa Masjidil Haram di Makkah, tempat Ka‘bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh bumi (maksudnya tujuh lapisan pembentuk bumi)
Nabi bersabda, ‘Wahai orang-orang Makkah, wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian berada di bawah pertengahan langit.’

Thawaf di Sekitar Makkah
Dalam Islam, ketika seseorang thawaf di sekitar Ka’bah, maka ia memulai dari Hajar Aswad, dan gerakannya harus berlawanan dengan arah jarum jam. Hal itu adalah penting mengingat segala sesuatu di alam semesta dari atom hingga galaksi itu bergerak berlawanan dengan arah jarum jam.

Elektron-elektron di dalam atom mengelilingi nukleus secara berlawanan dengan jarum jam. Di dalam tubuh, sitoplasma mengelilingi nukleus suatu sel berlawanan dengan arah jarum jam. Molekul-molekul protein-protein terbentuk dari kiri ke kanan berlawanan dengan arah jarum jam. Darah memulai gerakannya dari kiri ke kanan berlawanan dengan arah jarum jam.

Di dalam kandungan para ibu, telur mengelilingi diri sendiri berlawanan dengan arah jarum jam. Sperma ketika mencapai indung telur mengelilingi diri sendiri berlawanan dengan arah jarum jam. Peredaran darah manusia mulai gerakan berlawanan dengan arah jarum jamnya. Perputaran bumi pada porosnya dan di sekeliling matahari secara berlawanan dengan arah jarum jam.

Perputaran matahari pada porosnya berlawanan dengan arah jarum jam. Matahari dengan semua sistimnya mengelilingi suatu titik tertentu di dalam galaksi berlawanan dengan arah jarum jam. Galaksi juga berputar pada porosnya berlawanan dengan arah jarum jam.

Note:

Yang pernah belajar Matematika, mungkin pernah mendengar nama Fibonacci. Dia adalah seorang ahli matematika yang hidup di era middle age di Aljazair. Masa kecilnya pernah berguru kepada seorang ahli matematika Muslim, hingga akhirnya Fibonacci membawa ilmu tersebut mengguncang Eropa.

Golden Ratio ialah Ratio yang Betul-Betul mencengangkan.
Sebentar lagi, Anda akan melihat bukti-bukti ilmiah luar biasa dari misteri yang tetap tersembunyi di Kota Suci Mekkah Selama Ribuan Tahun. Mekkah dikehendaki sebagai arah bersujud, tempat konvensi miliaran umat Islam dan sebagai pusat suci Islam. Orang-orang Muslim, yang sanggup, disunahkan untuk pergi melakukan perjalanan melalui Ka’bah, Muzdelife dan Arafat dan untuk berkumpul di kota suci.

Phi Konstan-1,618, jumlah Nilai unggulan matematika. Sang Pencipta selalu menggunakan nomor yang sama dalam berbagai peristiwa di alam semesta, dalam pulse hati kita, rasio aspek spiral DNA, di desain khusus yang disebut alam semesta dodecehadron, dalam aturan array daun tanaman yang disebut phylotaxy, dalam bentuk serpihan salju, kristal, dalam struktur spiral banyak galaksi. Pencipta menggunakan nomor yang sama, jumlah rasio emas senilai 1,618 …

Ditetapkan bahwa rasio ini telah digunakan untuk desain arsitektur, bahkan Piramida di Mesir. Kepler astronom terkenal, Mendefinisikan Angka ini sebagai Penemuan yang Terbaik. Banyak pelukis terkenal, insinyur dan arsitek, seperti Leonardo Da Vinci, telah menggunakan rasio ini dalam karya seni mereka selama ratusan tahun.

Proporsi jarak antara Mekah dan Kutub Utara dengan jarak antara Mekah dan Kutub Selatan adalah persis 1,618 yang merupakan Golden Ratio. Selain itu, proporsi jarak antara Kutub Selatan dan Mekah dengan jarak antara kedua kutub adalah lagi 1,618 unit.


Keajaiban belum selesai The Golden Ratio Point of the World adalah di kota Mekkah menurut peta lintang dan bujur yang merupakan penentu umum manusia untuk lokasi.

Proporsi jarak timur ke barat Mekah jarak garis solstice lagi 1,618 unit. Selain itu, seperti ditunjukkan pada Gambar, proporsi jarak dari Mekah ke garis titik balik matahari dari sisi barat dan perimeter garis lintang dunia pada saat itu juga mengejutkan sama dengan rasio emas (Golden Ratio), 1,618 unit. The Golden Ratio Point of the World selalu dalam batas kota Mekkah, di dalam Daerah Suci yang meliputi Ka’bah menurut semua sistem pemetaan kilometrical meskipun variasi kecil dalam perkiraan mereka.

Read more »

Pengeboman = Jihad ?????

Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.

Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i

Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.
Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)

Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??

Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)

Dampak Mudah Mengkafirkan

Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)

***

Penulis: Abu Syifa’ Fauzan Adhi Sasmita

Read more »

Islam - Iman - Ihsan

1. Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu." Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman." Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya."

Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan." Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang Assa'ah (azab kiamat)." Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya." Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat." Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?" Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR. Muslim)

2. Iman terbagi dua, separo dalam sabar dan separo dalam syukur. (HR. Al-Baihaqi)

3. Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada. (HR. Ath Thobari)

4. Sufyan bin Abdullah berkata,"Ya Rasulullah, terangkan kepadaku tentang Islam. Aku tidak akan bertanya lagi kepada orang lain." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Ikrarkanlah (katakan): Aku beriman kepada Allah, kemudian berlakulah jujur (istiqomah)." (HR. Muslim)

5. Peliharalah (perintah dan larangan) Allah, niscaya kamu akan selalu merasakan kehadiran-Nya. Kenalilah Allah waktu kamu senang, niscaya Allah akan mengenalimu waktu kamu dalam kesulitan. Ketahuilah, apa yang luput dari kamu adalah sesuatu yang pasti tidak mengenaimu dan apa yang akan mengenaimu pasti tidak akan meleset dari kamu. Kemenangan (keberhasilan) hanya dapat dicapai dengan kesabaran. Kelonggaran bersamaan dengan kesusahan dan datangnya kesulitan bersamaan dengan kemudahan. (HR. Tirmidzi)

6. Sesungguhnya bermula datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali asing. Namun berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing (aneh) itu?" Lalu Rasulullah menjawab, "Orang yang melakukan kebaikan-kebaikan di saat orang-orang melakukan pengrusakan." (HR. Muslim)

7. Umat terdahulu selamat (jaya) karena teguhnya keyakinan dan zuhud. Dan umat terakhir kelak akan binasa karena kekikiran (harta dan jiwa) dan cita-cita kosong." (Ibnu Abi Ad-Dunia)

8. Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan "Laailaaha illallah" karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)

9. Pokok segala urusan ialah Al Islam dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya (atapnya) adalah berjihad. (HR. Tirmidzi)

10. Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya. (HR. Ahmad)


Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press
Labels: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad)

Read more »

Ketinggian Al-Qur'an

1. Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw. (HR. Muslim)


2. Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (Al Qur'an) meninggikan derajat kaum-kaum dan menjatuhkan derajat kaum yang lain. (HR. Muslim)


Penjelasan:
Maksudnya: Barangsiapa yang berpedoman dan mengamalkan isi Al Qur'an maka Allah akan meninggikan derajatnya, tapi barangsiapa yang tidak beriman kepada Al Qur'an maka Allah akan menghinakannya dan merendahkan derajatnya.


3. Apabila seorang ingin berdialog dengan Robbnya maka hendaklah dia membaca Al Qur'an. (Ad-Dailami dan Al-Baihaqi)

4. Orang yang pandai membaca Al Qur'an akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan yang membaca tetapi sulit dan terbata-bata maka dia mendapat dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)


5. Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)


6. Orang yang dalam benaknya tidak ada sedikitpun dari Al Qur'an ibarat rumah yang bobrok. (Mashabih Assunnah)


7. Barangsiapa mengulas Al Qur'an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka. (HR. Abu Dawud)

Penjelasan:
Maksud hadits ini adalah menterjemah, menafsirkan atau menguraikan Al Qur'an hanya dengan akal pikirannya sendiri tanpa panduan dari hadits Rasulullah, panduan dari para sahabat dan ulama yang shaleh, serta tanpa akal dan naqal yang benar.


8. Barangsiapa menguraikan Al Qur'an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan. (HR. Ahmad)


9. Barangsiapa membaca satu huruf dari Al Qur'an maka baginya satu pahala dan satu pahala diganjar sepuluh kali lipat. (HR. Tirmidzi)



Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Read more »

Sabtu, 30 Januari 2010

Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid

Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka

Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?

Orang-orang yang salah sangka

Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])

Haram bicara agama tanpa ilmu!

Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)

Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)

al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).

Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).

Berbuat dosa kok mengharap pahala?

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)

al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)

Berjihadlah!

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)

Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!

Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!

Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)

al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)

Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!

Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!

al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!

Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)

Ibnu Hajar mengatakan,

والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك

“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)

as-Syahrastani mengatakan,

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان

“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)

Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.

Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H

***

Penulis: Ustadz Ari Wahyudi

Read more »

Pentingnya Berpegang pada AD-DIIN-Nya

1. Sesungguhnya agama ini mudah dan tiada seorang yang mempersulit agama, kecuali pasti dikalahkannya. Bertindaklah tepat, lakukan pendekatan, sebarkan berita gembira, permudahlah dan gunakan siang dan malam hari serta sedikit waktu fajar sebagai penolongmu. (HR. Bukhari)


2. Tiada manusia mengabaikan sesuatu dari urusan agama untuk kepentingan keduniaan mereka, kecuali Allah menimbulkan bagi mereka perkara-perkara yang lebih membahayakan mereka. (HR. Ahmad)


3. Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini pada penghujung tiap seratus tahun orang yang memperbaharui (ajaran) agama mereka. (HR. Abu Dawud dan Al Hakim)


4. Akan datang satu masa, hati seorang mukmin cair sebagaimana cairnya timah dalam api disebabkan melihat bala dan peristiwa yang merugikan agamanya tetapi dia tidak mampu merubahnya. (Aththusi)


5. Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak dan jangan sampai timbul dalam dirimu kejenuhan beribadah kepada Robbmu. (HR. Al-Baihaqi)


6. Yang menyebabkan agama cacat ialah hawa nafsu. (HR Asysyihaab)


7. Umatku dibebaskan (dari tuntutan) disebabkan kesalahan (yang tidak disengaja), lupa dan terhadap apa yang dipaksakan kepada mereka. (HR. Ath Thobari)


8. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk diampuni dan kembali kepada jalan Allah yang telah Allah tangguhkan ajalnya sehingga dia sudah mencapai usia enam puluh tahun. (HR. Bukhari)


Penjelasan:
Jadi bila sudah mencapai usia 60 tahun dan belum mau bertobat atas perbuatan dosanya maka tidak ada lagi alasan baginya pada saat menghadapi perhitungan Allah.


9. Allah menyukai akan rukhsah-rukhsah-Nya[1] diterima dan diamalkan sebagaimana seorang hamba menyukai pengampunan-Nya. (HR. Ath Thobari)


10. Sesungguhnya Allah akan mendukung (mengokohkan) agama ini (Islam) dengan perantaraan seorang yang durhaka. (Mutafaq'alaih)



--------------------------------------------------------------------------------

Catatan Kaki:



[1] Rukshah artinya dispensasi dan keringanan-keringanan dari Allah, seperti shalat Qoshar dan berbuka (tidak puasa) bagi musafir.



Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Read more »

Pentingnya Lafadz Bismillah dalam segala hal

Untuk lafadz yang satu ini, mungkin kita sendiri lupa entah kapan mulai mempelajarinya. Ternyata banyak saat-saat yang kita disunnahkan untuk mengluarkan lafadz ini. Yang pertama adalah saat hendak mulai makan. Hei…mungkin langsung ada yang bertanya-tanya, bukankah saat hendak makan doa yang dibaca “Allahumma bariklana…?”

Jawabnya, “Bukan Akhi&Ukhti.” Bahkan do’a tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya disebutkan dalam hadits yang lemah riwayat dari Ibnu Sunni. Cukup dengan ‘bismillah’. Maka setan tidak akan dapat ikut makan bersama kita.


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‘Apabila seseorang masuk rumahnya dia menyebut Allah Ta’ala pada waktu masuknya dan pada waktu makannya, maka setan berkata kepada teman-temannya, ‘Kalian tidak punya tempat bermalam dan tidak punya makan malam.’ Apabila ia masuk tidak menyebut nama Allah pada waktu masuknya itu, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’, dan apabila ia tidak menyebut nama Allah pada waktu makan, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.’” (HR. Muslim)

Adapun jika kita terlupa membaca ‘bismillah’ di awal waktu kita makan, maka kita cukup membasa ‘bismillah awwalahu wa aakhirohu’ di saat kita ingat.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang kamu makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala (bismillah -pen). Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal makannya, maka hendaklah ia mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ أوَّلَهُ وَ اخِرَهُ
Bismillahi awalahu wa'aqirohu
(Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan pada akhirnya)’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Kita juga disunnahkan membaca bismillah ketika kendaraan yang kita kendarai mogok. (HR. Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud III/941)

Read more »