Jumat, 29 Oktober 2010

Memahami Tasawuf

Tasawuf atau istilah lainnya yaitu sufistik seringkali digambarkan sebagai suatu kehidupan yang menyerupai kerahiban, pertapaan atau uzlah serta menjauh dari kehidupan duniawi.

Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah? Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. 
Tasawuf dimaksudkan sebagai  tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al- Anshari mendefiniskan.

Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam Al-Qur’an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\’in dan hal ini tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.

Kenapa gerakan tasawuf baru muncul pasca era Shahabat dan Tabi\’in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.

Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialism belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalui ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq Ketika kekuasaan Islam makin meluas.

Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. 
Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. 

Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah.

Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’(meneladani Rasulullah), dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.

Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullah, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah, memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya.

Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah, pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad).

Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunnah Rasulullah, Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunnah Rasulullah. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yang mengikuti sunah Rasulullah sama sekali tidak bid’ah.

Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah  tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah  dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.

Anda sedang membaca Artikel tentang Memahami Tasawuf ndan anda bisa menemukan Artikel Memahami Tasawuf ini dengan URL http://laylawaty.blogspot.com/2010/10/memahami-tasawuf.html, Anda boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste nya jika Artikel Memahami Tasawuf ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, Namun jangan lupa untuk meletakkan Link Memahami Tasawuf sebagai Sumbernya.

6 komentar:

  • fb says:
    29 Oktober 2010 pukul 22.45

    Yg penting sih ngikutin sunnah rasul aja.. Jangan terlalu berlebihan juga.

  • Al Munawwar says:
    30 Oktober 2010 pukul 13.17

    Yang penting, jangan jadi budak dari kehidupan duniawi.
    Salam ukhuwah...

  • Muza elbanaf says:
    30 Oktober 2010 pukul 21.26

    yups. Tasawuf sebenarnya adalah perilaku yg berpegang teguh pada Al Qur'an dan Hadits seperti Rasululloh SAW. Karena didalamnya sudah sempurna ajaranNya.

    Berperilaku Qur'ani itulah inti dari penjiwaan sebuah kitab suci.

    Tidak ada yg salah dengan sufi tapi perilakunya saja yg masih jauh dari tujuan utama. Karena kebanyakan yg saya ketahui banyak yg merasa justru tinggi hati dan membatasi diri menganggap maqom dirinya terlalu tinggi padahal inti ajaran sufi adalah harus bisa menjaga hati.

  • Ella says:
    31 Oktober 2010 pukul 06.23

    @Muza elbanaf: sebagai sesama muslim, berprasangka baik saja, memang kalau kita lihat banyak para pelaku sufi yg membatasi pergaulan diri mereka, hal ini disebabkan karena mereka ingin lebih menjaga kebersihan hati mereka. Ibaratnya setiap orang itu kan beda kemampuannya ruhaninya, ada orang yg ketika berkumpul dengan bermacam warna manusia, baik merah, hitam atau kuning tapi dia tetap putih, dan ada juga yg dia putih tapi dia bisa jadi merah, hitam atau kuning kalau bergaul bersama mereka. jadi itu saja sebenarnya yg jadi alasan mereka untuk membatasi diri mereka. bukan karena merasa sombong krn sudah di maqom yg tinggi.

  • Muza elbanaf says:
    31 Oktober 2010 pukul 11.42

    trims mbak ella, saya ndak bilang semua cuma kebanyakan karena ilmu tasawuf itu godaannya besar untuk menjaga hati. Saya tidak melihat dari jarak fisik namun lebih ke 'ujub' merasa lebih walo dalam hati. Ini yang kebanyakan terjadi, itu kenapa saya tekankan harus menjaga hati sebagai pengingat saja sesama muslim. Terima kasih...

  • Ella says:
    31 Oktober 2010 pukul 14.54

    oke..memang betul sekali, bahwa inti dari ilmu tasawuf adalah tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa.

Posting Komentar