Kamis, 07 Oktober 2010

Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal

Pada artikel ini saya akan mengulas sedikit mengenai wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaluddin Rachmat dari Bandung. Berikut kutipannya :

Djalaluddin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?

Jawaban Djalaluddin: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi, bukan mendekonstruksi.
Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk.

Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.

Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Al-Qur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersyukur ataupun tidak bersyukur);  lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih).

Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.

Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?

Djalaluddin Rahmat menjawab: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat. Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan.

Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya.
Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg, nggak bisa diingetin menurut Al-Qur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadits disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”


Kritisi :
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Sekilas jika kita baca, tampaknya penjelasan diatas benar dan relevan dengan nash-nash Al-Qur'an, namun jika kita telaah lebih dalam kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu.

Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih.

Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, Al-Qur’an juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non-Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam.

Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.

Bahkan, Al-Qur’an juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.”

Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.”
Apalagi, dia katakan pula: “Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan non-muslim. Definisi kafir sebagai orang non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.”

Al-Qur’an yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat itu ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar” (Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar). Karena, wanita- wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.

Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia, masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18 November 2002).”

Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindu bernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir.

Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar-pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Qur’an, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.

Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat.

Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah.
Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibrani disebut sebagai Messiah).

“Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Sementara, Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.

Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal.

Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas Islam tidak dibentuk oleh sejarah.
Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai institusi agama, Islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin akan hal ini.

Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat.

Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?

Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melayu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.

Anda sedang membaca Artikel tentang Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal ndan anda bisa menemukan Artikel Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal ini dengan URL http://laylawaty.blogspot.com/2010/10/dekonstruksi-aqidah-ala-kaum-liberal.html, Anda boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste nya jika Artikel Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, Namun jangan lupa untuk meletakkan Link Dekonstruksi Aqidah ala Kaum Liberal sebagai Sumbernya.

4 komentar:

  • Soe86 says:
    9 Oktober 2010 pukul 12.48

    Pemahaman "Islam Liberal" banyak beredar di dalam universitas, khususnya yang mengkaji soal ilmu sosial. Salah satu ilmu sosial adalah Antropologi. Di dalam teorinya tentang agama, bahwa agama adalah "budaya", yaitu hasil karya manusia yang berwujud ideologi.
    Saya sendiri sempat "termakan" dengan teori seperti itu, tapi saya perlahan-lahan berusaha mengembalikan keyakinanku bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada ajaran Islam. Saya sering setress waktu itu....

    Terima Kasih atas pencerahannya...

  • Ella says:
    9 Oktober 2010 pukul 15.01

    Bener banget, paham-paham liberal banyak dikenalkan dikalangan mahasiswa, mungkin krn mahasiswa yg dikenal sebagai kaum intelektual muda sehingga mudah untuk dipengaruhi serta dijejali isme-isme mereka. jadi seharusnya kita lebih berhati-hati serta lebih kritis dlm menyikapinya.

  • Soe86 says:
    9 Oktober 2010 pukul 17.24

    Parahnya La, ada organiasasi kemahasiswaan yang menyebut dirinya Organisasi Islam yang kajiannya sangat Liberal... Setiap mahasiswa baru akan direkrut dan dikader kemudian "disuntikkan" dengan nilai bahwa "merekalah generasi muslim yang paling kritis dan Cerdas"... ckckckck

  • Ella says:
    9 Oktober 2010 pukul 21.22

    Yah memang di kampus banyak didapati organisasi-organisasi yg mengatasnamakan islam padahal jauh dari ajaran islam yg sebenarnya. oleh sebab itu bekal pemahaman agama yg benar memang harus ditanamakan agar tidak mudah terbawa arus.

Posting Komentar