Siapa yang tidak mengenal Presiden
Iran, Mahmud Ahmadinejad. Selain sebagai seorang pemimpin yang sangat
berani, ia juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat sederhana dan
bersahaja.
Kesederhanaan dan kebersahajaannya itu
tampak saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan, ia menyumbangkan
seluruh karpet istana Iran yang sangat tinggi nilainya kepada masjid di
Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
Kesederhanaan dan kebersahajaannya itu tampak juga saat ia
menikahkan putranya, Alireza Ahmadinejad tiga tahun yang lalu. Setelah
ditelusuri, ternyata pernikahan tersebut hanya menelan biaya 3,5 juta
Toman (setara dengan USD 350/ Rp 2,8 Juta). Meski terbilang sederhana,
pernikahan ini berlangsung dengan khidmat dan syahdu.
Hal
ini sangat berbeda sekali dengan upacara pernikahan anak presiden
Indonesia Ibas-Aliyya yang diselenggarakan hari ini (24/11). LSM Bendera
mencatat bahwa Biaya pernikahan Ibas-Aliya menghabiskan dana sebesar Rp
12 Miliar. Sementara itu, tabloid Cek dan Ricek melaporkan prosesi
pernikahan ini menghabiskan dana sebesar Rp 40 Miliar.
Pernikahan
Ibas-Aliya juga tidak memperhitungkan dampak negatif terhadap
masyarakat. Pernikahan ini sedikit banyak :
1. Merampas hak 300 siswa sekolah alam Cikeas dan SDN 1
Cipanas karena diliburkan,
2.
Menghilangkan nafkah 1000 pedagang Pasar Cipanas dan 1000 angkutan umum
Cipanas
3. Merugikan belasan
ribu masyarakat yang akan berbelanja di Pasar Cipanas yang menggunakan
angkutan umum.
Hal berbeda akan kita temukan pada
pernikahan putra Ahmadinejad sebagaimana dilukiskan oleh Seorang
blogger, Javad Matin. Matin melukiskan prosesi pernikahan itu sebagai
berikut: “SAAT itu, pada Rabu malam ketika telepon saya berdering, Saya
diundang ke upacara pernikahan sahabat baik saya, Alireza, yang akan
berlangsung malam berikutnya.
Saya tahu setiap kali Hari libur Islam di
Iran, datang keluarga itu pergi ke beyt [Istana kepresidenan] dan dia
akan dinikahkan dengan keponakan syahid Kaveh [tentara Iran, Garda
Revolusi, dan anggota Basij yang tewas dalam perang Irak].
Kamis
malam pukul sembilan, saya pergi ke istana kepresidenan. Dari luar
tempat itu, semua tampak biasa saja, sampai-sampai saya mengira bahwa
saya telah datang ke tempat yang salah. Sepertinya pernikahan putra
seorang presiden tidak diadakan di sana.
Saya memasuki
taman dan sadar bahwa saya harus mematikan telepon. Sekelompok orang
berbaris untuk salat. Kemudian saya memasuki aula. Sejumlah meja kosong
karena tamu yang duduk sedang pergi untuk melaksanakan salat.
Buah-buahan dan kue, sebotol air mineral, beberapa piring dan pisau
telah ditata di meja untuk para tamu.
Saya menanyakan
keberadaaan “doktor” [sebutan untuk Ahmadinejad dari para pendukungnya
karena dia adalah doktor di bidang teknik sipil dan manajemen lalu
lintas transportasi]. Saya diberi tahu bahwa dia sedang salat di halaman
belakang.
Karena kurangnya ruangan, beberapa tamu
pergi menuju halaman belakang. Saya salat bersama, seorang ajudan senior
kepresidenan, Mojtaba Samareh Hashemi. Kemudian saya kembali ke aula.
Sang doktor sedang duduk di meja pertama di sebelah ayah
pengantin wanita. Setelah bersalaman hangat dengannya dan beberapa
pejabat lain, saya duduk di salah satu meja. Kemudian sang pengantin
pria memasuki aula. Dia mengucapkan salam kepada setiap tamu dan duduk
di samping doktor dan ayah mempelai wanita, Haj Agha Akbari.
Ketua
panitia penyelenggara pernikahan, Mr. Kheirkhah, mengatakan betapa
doktor begitu perhatian terhadap resepsi pernikahan ini sampai pada
hal-hal yang detailnya. Dia mengatakan bahwa doktor hanya memesan satu
jenis makanan dan membayar 3,5 juta toman [sekitar 3.500 dolar / Rp 28
juta] untuk biaya resepsi.
Dia menambahkan bahwa jumlah tamu pria
sebanyak 180 orang. Saya hanya melihat sedikit pejabat negara. Saya
pernah ke pernikahan pejabat publik sebelumnya dan di sana tidak hanya
ada pengeluaran mewah tapi juga banyak menteri dan pejabat negara yang
hadir.
Tapi apa yang saya lihat disini benar-benar
penuh dengan kesederhanaan. Ini adalah resepsi rakyat, padahal ayah
sang pengatin pria adalah orang nomor satu di negeri ini.
Dalam
pesta tersebut, aura kesederhanaan sangat terasa di mana-mana. Hal
tersebut terbukti dari cara tamu dijamu. Hal ini juga bisa dilihat dari
mobil yang digunakan untuk mengantar pengantin dan perjamuan itu sendiri
yang sederhana namun lezat dan harum.
Pembawa acara
resepsi meledek Alireza tentang subsidi dan 1 juta toman yang akan
diterima anaknya kelak, yang membuat doktor tersenyum. Upacara telah
berakhir, tetapi sang doktor dan ayahnya pengantin wanita berdiri di
pintu gerbang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para tamu.
Menarik melihat bagaimana sang doktor melayani anak berumur
7-8 tahun yang berteriak “Paman! Paman!” kepadanya. Dia memeluk dan
memperlakukannya dengan baik.
Semua orang telah pulang dan sang doktor
menuju dapur untuk menyampaikan terima kasih kepada mereka yang bekerja
untuk resepsi. Ketika semua orang telah pergi, pengantin pria dan wanita
masuk ke mobil mereka tanpa ada formalitas tambahan dan pulang ke rumah
dengan keluarga.
Sudah menjadi hak setiap orang untuk
melaksanakan pernikahan dengan kemewahan, terlebih lagi menggunakan uang
pribadi. Namun, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib, seorang
pemimpin memiliki kekhususannya tersendiri. Dengan tanggung jawab yang
lebih besar, dia harus bisa menyesuaikan dan merasakan kehidupan rakyat
terbawah yang dipimpinnya.
0 komentar:
Posting Komentar