Isu poligami telah mengundang pro dan kontra di masyarakat khususnya kaum Muslimin. Pro dan kontra tersebut terjadi tidak saja di kalangan kaum laki-laki namun juga pada kaum perempuan. Sebagian kaum perempuan muslim melihat praktek poligami sebagai penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, sementara perempuan muslim lainnya memandang bahwa poligami sebagai bentuk ibadah dengan surga sebagai ganjarannya.
Dua pendapat di atas memang sama-sama kuat dan mengacu pada dasar yang sama yaitu kitab suci Al-Quran dan Hadits Rasulullah. Lagi-lagi persoalannya adalah pada penafsiran. Lalu bagaimana sebenarnya Islam melihat poligami?
Agama Islam adalah agama pertengahan, maksudnya bahwa dalam ajaran islam selalu mengajarkan manusia untuk bersifat di tengah-tengah yakni tidak terlalu ekstrim kepada satu sisi namun dapat menengahi diantara keduanya. Misalkan saja Islam tidaklah mengajarkan kerahiban bahkan Islam sangat mendorong dengan pernikahan sebagaimana Rasulullah bersabda : "Sesungguhnya menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukanlah dari golonganku".
Ajaran islam pun tidak mengharuskan untuk menikahi satu wanita saja sebagaimana ajaran agama yang lain, islam membolehkan laki-laki untuk menikah lebih dari satu namun dengan persyaratan yang ketat dan tentu saja hal yang mendasarinya adalah bukan karena faktor dorongan nafsu semata.
Dalam memahami poligami tentunya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks sosial di mana ajaran tersebut diwahyukan dalam bentuk Al-Quran dan Hadits. Isu poligami dalam Islam didasarkan pada surat An Nisa ayat 3 dan biasanya pemahamannya lebih ditekankan pada pembolehan mengawini perempuan lebih dari satu daripada pesan keadilan yang ada di dalam ayat tersebut.
Dalil lain yang digunakan adalah tindakan Rasulullah yang memiliki isteri lebih dari satu, sehingga hal tersebut dijadikan dalil untuk menjustifikasi bahwa poligami adalah sunah rasul. Pendapat ini telah meluas dalam masyarakat sehingga esensi poligami menjadi hilang.
Poligami pada awalnya merupakan media transformasi sosial di masa penyebaran pertama Islam. Dimana saat itu umat Islam masih sering melakukan perang melawan kaum kafir sehingga banyak isteri para mujahidin menjadi janda. Kondisi sosial perempuan saat itu sangat terjepit. Perempuan lebih-lebih para janda dimata masyarakat Arab saat itu sangat hina ditambah lagi kondisi ekonomi mereka, Ditinggal mati suami dan memiliki banyak anak tentu sangat merepotkan perempuan saat itu. Oleh karena itu turunlah ayat 3 surat An-Nisa tersebut, sehingga konteksnya adalah poligami adalah mekanisme perlindungan perempuan dan anak yatim yang menjadi korban perang saat itu.
Di zaman yang telah maju sekarang ini praktek poligami tetap eksis dan seakan menjadi hal yang wajar dalam masyarakat. Sebagian perempuan bahkan berkeyakinan bahwa penyerahan diri untuk dimadu adalah sebagian dari bentuk keimanan. Alasan ini memang dapat dipahami karena memang banyak literatur Islam kuno (sebut kitab kuning) yang mensub-ordinasikan keberadaan perempuan. Sebut saja beberapa kitab misalnya: Uqudilijain, Quratul Uyun, dan Irsaduz Zaujain ketiganya adalah kitab rujukan utama di pesantren untuk masalah hubungan suami isteri.
Hadits-hadits seperti tersebut dalam riwayat At thabrani:”Sesungguhnya seorang istri terhitung belum memenuhi hak-hak Allah ta’ala sehingga dia memenuhi hak-hak suaminya keseluruhan.Seandainya suaminya meminta dirinya sementara ia masih berada diatas punggung onta,maka ia tidak boleh menolak suaminya atas dirinya”.(yang di maksud meminta dirinya adalah meminta untuk melayani seksual suaminya).
Hadits lain adalah, tersebut dalam riwayat diberitakan oleh Aisyah Ra bahwa,ada seorang perempuan datang menghadap Nabi saw seraya berkata:”Hai rasulullah,aku ini seorang wanita yang masih muda.Baru-baru ini aku sedang dilamar seseorang tapi aku belum suka menikah,sebenarnya apa sajakah hak-hak suami atas istrinya itu?”Rasulullah saw menjawab:”Sekiranya mulai dari muka hingga sampai kakinya dipenuhi oleh penyakit bernanah,lalu istrinya menjilati seluruhnya,maka yang demikian itu belum terbilang memenuhi rasa syukur terhadap suami”. Perempuan muda itu berkata:”Kalau begitu pantaskah aku menikah?”.Rasulullah saw berkata, “Sebaiknya menikahlah karena menikah itu baik”. (Hadits-hadits ini ada dalam kitab Uqudilijain).
Menjadi sebuah pertanyaan kritis apakah benar Rasulullah mengajarkan ajaran yang merendahkan perempuan, bukankah beliau sangat menyayangi perempuan.
( terlepas dari validitas hadis tersebut ditinjau dari ilmu musthalahal hadist )
Bukankah dalam Al Quran kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Dan orang orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian meraka ( adalah ) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh ( mengerjakan ) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya.” (QS. 9:71) Pertanyaan kritis tersebut telah mendorong beberapa perempuan muslim yang diprakarsai Puan Hayati dan Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid untuk mendirikan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Forum ini banyak melakukan kajian ulang literatur Islam kuno (kitab kuning) yang banyak mendeskridetkan posisi perempuan dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku.
Kembali ke persoalan poligami. Sekalipun Allah SWT memperbolehkan kaum laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, tetapi haruslah diingat bahwasannya penekanannya ada pada kemampuan kaum laki-laki untuk berlaku adil, bila tidak mampu untuk berlaku adil, maka Allah SWT memerintahkan untuk cukup menikahi satu perempuan saja. Perintah tersebut adalah bukti bagaimana Allah SWT melindungi kaum wanita dari teraniaya karena perbuatan tidak adil dari kaum laki-laki.
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba.
Berkenaan dengan ketidakmampuan kaum laki-laki dalam hal adil batiniah, Allah SWT menegaskan kodrat ketidakmampuan kaum laki-laki dalam firman-Nya sebagai berikut:“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar” (Q.S. An-Nisaa` 4:129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan pula, “Apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, ’sehingga kalian biarkan yang lain telantar’ maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang laki-laki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Ini adalah sebuah bentuk perlindungan dari Allah SWT kepada kaum wanita dari kodrat kekurangan kaum laki-laki yang tidak akan bisa adil dalam perkara batiniah.
Wallahu'alam.
0 komentar:
Posting Komentar